LAMR MEMAKLUMI TUNTUTAN 32 SIMPUL ORMAS - TARGET RIAU

Jumat, 10 Juni 2022

LAMR MEMAKLUMI TUNTUTAN 32 SIMPUL ORMAS


PEKANBARU - Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) memaklumi tuntuan ribuan orang dari 32 simpul organisasi masyarakat (ormas) Riau yang intinya untuk menciptakan kondisi Riau lebih kondusif di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Pekanbaru, hari Kamis (9/6). Selebihnya, lembaga ini juga berterima kasih kepada pendemo tersebut yang melakukan aksinya dengan tertib dan menyampaikan aspirasi dengan santun.

Demikian dikatakan Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat (Ketum MKA) LAMR, Datuk Seri H. Raja Marjohan Yusuf, kepada media hari Jumat (10/6). Ia didampingi Ketum Dewan Pimpinan Harian (DPH) LAMR Datuk Seri H. Taufik Ikram Jamil, Timbalan DPH LAMR Datuk Tarlaili, Sekum MKA LAMR Afrizal alias Alang Rizal, dan Sekum DPH LAMR H. Jonaidi Dassa.

Ribuan pendemo di DPRD Riau hari Kamis itu menyatakan siap menjaga marwah pemimpin Riau Datuk Setia Amanah. Berikutnya mereka menyatakan mendukung aparat hukum bekerja sesuai aturan, tidak bisa diintervensi oleh pihak mana pun yang punya kepentingan ekonomi dan politik. Untuk itu, mereka juga siap melindungi aparat hukum yang diintervensi. 

Selanjutnya, mereka tidak mau negeri Melayu Riau dibuat gaduh oleh pihak-pihak yang sarat dengan kepentingan ekonomi dan politik. Seiringan dengan itu, LAMR diminta memberi sanksi adat dan mengusir dari tanah Melayu Riau kepada para oknum yang membuat rusuh dan melecehkan Datuk Setia Amanah. 

Sebagaimana diketahui bahwa aksi unjuk rasa itu sendiri dipicu oleh demo sekelompok orang yang menamakan dirinya atas nama organisasi tertentu di Kejati Riau pekan lalu. Mereka menuntut dugaan korupsi di Bansos Siak diusut tuntas. Tapi kesannya memaksakan kehendak melalui keinginan melibatkan Gubernur Riau dalam kasus itu dan harus diselesaikan dalam waktu sepekan. Mereka malahan mengancam melaporkan Kajati Riau ke Kajagung.  

LAMR sendiri telah menanggapi unjuk rasa pekan lalu itu dengan mengatakan bahwa isi orasi pengunjuk rasa memang tidak patut diucapkan seperti mengancam, dan mengajak perang. Oleh karena itu, LAMR juga sudah meminta agar hal semacam itu tidak terulang lagi, sehingga tidak berdampak buruk bagi banyak orang. 

Menahan Diri 

Ketum MKA LAMR, Datuk Seri H. Raja Marjohan Yusuf mengatakan, sudah tepat kalau pendemo menyatakan mendukung aparat hukum bekerja sesuai aturan. Patut diapresiasi pula keinginan mereka melindungi penegak hukum yang diintervensi, sehingga kejaksaan dapat bekerja secara proporsional. 

Mengenai pernyataan pendemo untuk menjaga marwah pemimpin Riau Datuk Setia Amanah, Ketum DPH H. Taufik Ikram Jamil mengatakan, merupakan suatu keniscayaan karena sebagai simbol daerah, dengan gelar Datuk Setia Amanah juga merupakan simbol budaya yang merupakan kesepakatan adat dari berbagai kawasan adat di provinsi ini sejak lama. “Jadi, kalau sudah bicara mengenai simbol, yang dikedepankan adalah spiritual,” ujar Taufik. 

Mengenai tuntutan mengusir oknum yang membuat rusuh dariu Riau, baik Datuk Seri Marjohan mapun Taufik mengimbau agar masing-masing pihak dapat menahan diri. “Mari kita selesaikan baik-baik, sebab yang besar bisa diperkecil, sedangkan yang kecil ditiadakan,” katanya.

Menurutnya, memang disadari bahwa sejak lama daerah Riau dikenal hetrogen, sebab masyarakat asalnya yakni Melayu senantiasa membuka diri kepada pendatang. Oleh karena itu pulalah, tunjuk ajar Melayu mengatur pergaulan sesama misalnya lewat ungkapan, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.  Selain itu, diajarkan kalau berjalan menjaga kaki dan bercakap memilihara lidah. Artinya, orang harus senantiasa beradaptasi dengan lingkungannya baik secara jasmani maupun rohani.

Amat sangat dihindari, lanjut Ketum DPH LAMR Taufik Ikram Jamil, sikap petentengan seperti mengancam, mengajak perang, dan mengultimatum tanpa hak, sebagaimana disebutkan dalam ungkapan, “Jangan beraja-raja di kampung raja”. Apalagi subjek yang dituding itu adalah simbol daerah yang juga simbol adat. 

Di sisi lain, Taufik mengatakan, orang Melayu amat taat pada hukum, tetapi seperti memukul ular, binatang tersebut mati, namun rumput tidak rebah dan buluh tidak patah. “Salah satu sumpah purba Melayu sejak abad ke-14 adalah boleh menghukum Melayu, tetapi jangan dinista. Jadi sedangkan setelah dinyatakan bersalah saja, tidak boleh dinista, apa lagi kalau kasusnya belum jelas oleh otoritas penegak hukum. Intervensi terhadap hukum seperti ultimatum dan memaksa seseorang untuk dilibatkan dalam suatu kasus, dapat ditafsir sebagai suatu penistaan,” katanya.

Bagikan berita ini

Disqus comments