Pada 18 Januari 2022, Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) telah resmi disahkan menjadi Undang-Undang No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Dengan hal tersebut timbul perdebatan ditengah masyarakat Sabtu 21/05/2022.
Gagasan perpindahan Ibu Kota suatu negara pada dasarnya bukanlah merupakan suatu hal yang baru. Banyak negara melakukan hal itu. Setidaknya dalam kurun waktu 100 tahun ini, terdapat setidaknya 30 negara yang memindahkan ibu kota negaranya. Banyak yang sukses, namun tidak sedikit yang gagal. Oleh karena adanya resiko kegagalan yang dapat merugikan Indonesia, maka perpindahan Ibu Kota Negara ini mensyaratkan harus adanya langkah hati-hati serta pertimbangan yang matang dan bijaksana oleh Pemerintah.
Namun, alih-alih mengambil kebijakan secara hati-hati serta pertimbangan yang matang dan bijaksana, Pemerintah justru membuat kebijakan kontroversial yang berdampak pada lahirnya berbagai masalah baru. Dari perspektif Hukum, tentu saja kebijakan ini bermasalah terutama pada pembentukan Undang-Undang No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara ( UU IKN). UU IKN dibahas secara sangat singkat yakni dalam 17 hari. DPR RI dan pemerintah tidak memberi masyarakat ruang partisipasi publik yang baik padahal masyarakat itu sendiri yang nantinya paling terdampak atas implikasi dari UU IKN ini. UU IKN bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Setelah disahkan pun, pengesahan Undang-Undang ini jelas dalam prosesnya tidak disusun dan dibentuk dengan perencanaan yang berkesinambungan mulai dari dokumen perencanaan pembangunan, perencanaan regulasi, perencanaan keuangan negara dan pelaksanaan pembangunan.
Hal ini karena sejak awal IKN memang tidak pernah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007, bahkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2015-2019 saja tidak ada, IKN mendadak terlahir dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024. Namun nyatanya anggaran IKN tidak pernah ditemukan dalam Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, 2021, dan 2022.
Selain itu, UU IKN dinilai tidak memiliki salah satu tujuan hukum yaitu kemanfaatan bagi rakyat banyak di situasi pandemi dan krisis ekonomi yang melanda warga. UU IKN juga telah menempatkan masyarakat adat semakin terpinggirkan sebab komunitas tidak diberi ruang untuk berpartisipasi padahal mereka telah lama hidup di dalam wilayah yang dijadikan lokasi pemindahan Ibu Kota Negara. Bahkan alokasi wilayah yang telah ditetapkan pemerintah untuk kawasan IKN mencapai 256.142 hektar dimana di dalamnya juga terdapat kehidupan masyarakat adat.
Keputusan untuk melanjutkan pemindahan ibu kota ditengah bangsa ini menghadapi pandemi Covid-19 dan kemerosotan ekonomi menimbulkan pertanyaan besar sampai sejauh mana pemerintah memiliki prioritas dalam mengatasi berbagai persoalan faktual yang dihadapi. Apalagi pemindahan ibukota merupakan keputusan penting dan strategis, dan sudah seharusnya menjadi wacana publik yang luas dari semua pemangku kepentingan bangsa.
Namun hal diatas tidak terjadi, wacana pemindahan ibukota hanya terjadi di kalangan elit dan lebih bersifat teknokratis, kurang partisipatif dan akuntabel. Terjadi “gap” antara publik dan negara dalam wacana pemindahan ibu kota ini. Jangankan masyarakat luas, DPR pun baru akan membahas RUU Ibu Kota ini dalam tahun ini, dan bahkan draft RUU dari Pemerintah pun belum DPR terima. Artinya peletakan batu pertama pembangunan ibu kota ini dilakukan tanpa ada payung hukumnya.
Mengutip Zenzi Suhadi selaku Direktur Eksekutif Nasional WALHI yang mengatakan bahwa Tata kelola lingkungan dan hak atas tanah di Indonesia yang amburadul, menimbulkan bencana dan konflik, karena kajian kelayakan suatu usaha senantiasa dilakukan untuk melegitimasi keputusan politik penguasa, bukan untuk melihat suatu usaha layak atau tidak. Begitu juga dengan pemindahan IKN ini.
kemudian Rukka Sombolinggi selaku Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menegaskan bahwa tidak adanya partisipasi penuh dan efektif masyarakat adat dalam pembentukan UU IKN adalah satu dari sekian banyak bentuk diskriminasi terhadap perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat di Indonesia.
Pembangunan IKN tanpa persetujuan (Free Prior Informed Consent-FPIC) dari Masyarakat Adat adalah pelanggaran konstitusi sekaligus menjadi penanda suksesi yang paripurna penghancuran keberadaan Masyarakat Adat di IKN dan penegasan terhadap watak pemerintahan yg berkuasa hari ini sebagai pemerintah yang otoritarian sekaligus tunduk pada kepentingan para oligark.
Aliansi Rakyat Gugat Pemindahan Ibu Kota Negara (ARGUMEN) mengatakan bahwa UU IKN ini inkonstitusional dikarenakan bertentangan dengan sedikitnya ada 8 pasal dalam UUD 1945 yang seharusnya menjadi falsafah dalam proses penyusunan hukum di negara ini. Pasal-pasal tersebut yakni Pasal 1 ayat (2) UUD 1945; Pasal 22A UUD 1945; Pasal 27 ayat (1) UUD 1945; Pasal 28C ayat (2) UUD 1945; Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; Pasal 28D ayat (3) UUD 1945; Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945.
Pada dasarnya, upaya pemerintah untuk melakukan pemindahan ibu kota keluar Jakarta atau bahkan ke luar Pulau Jawa pada dasarnya merupakan suatu langkah yang perlu diapresiasi.
Pemerintah membuat argumen perlunya memindahkan ibu kota yaitu; Pertama, Jakarta sudah tidak memiliki daya tampung (over carrying capacity) dalam hal kepadatan penduduk, polusi, ketersediaan air, lalu lintas dan sebagainya sehingga sudah tidak layak lagi mengemban peran sebagai Ibu Kota Negara. Kedua, membangun ibu kota yang lebih aman dan memiliki resiko terhadap bencana alam seperti gempa bumi, banjir. Ketiga, kini mulai diwacanakan juga sebagai model pembangunan yang Indonesia sentris dalam kerangka pemerataan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa. Pemindahan diharapkan akan mengurangi beban ekologis Kota Jakarta yang sudah sangat berat. Penetapan perpindahan Ibu Kota ke wilayah Timur Indonesia diharapkan dapat mengurangi kesenjangan dan mewujudukan pembangunan Indonesia yang berkelanjutan serta menjadi ibu kota dengan symbol identitas bangsa yakni smart, green, beautiful dan sustainable, modern, dan berstandar internasional. Berbagai alasan yang diungkap oleh Pemerintah sebagai landasan untuk melakukan perpindahan ibu kota tentu tidak sepenuhnya dapat dibenarkan dan dapat diterima. Perlu menjadi catatan meskipun tidak lagi menjadi Ibu Kota Negara, Jakarta masih tetap menyisakan berbagai macam persoalan yang harus ditangani dan mendapatkan perhatian oleh pemerintah pusat.
Namun semua argumen tersebut sebenarnya tidak cukup kuat. Pertama, pemerintah terkesan ingin menghindari upaya mengatasi persoalan yang dihadapi Jakarta dan apabila perpindahan Ibu Kota dilakukan tetap saja tidak dapat memastikan bahwa persoalan Jakarta akan terselesaikan.
Kedua, jika alasan perpindahan tersebut adalah pemerataan pembangunan, sebenarnya sejak tahun 2001 pemerintah memiliki kebijakan dan instrumen seperti otonomi dan desentralisasi fiskal melalui Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus yang bertujuan untuk akselerasi pemerataan pembangunan Jawa dan luar Jawa. Lebih lanjut, Indonesia sentris sebagai orientasi pembangunan bukan hanya retorik yang hanya sederhana diterjemahkan hanya dengan secara fisik memindahkan ibu kota.
Indonesia sentris seharusnya merupakan mindset dari pembuat kebijakan yang mengorientasikan keseluruhan kebijakan dan program pembangunan untuk mewujudkan keadilan sosial. Dalam konteks ini, akan lebih baik jika dana yang tersedia digunakan untuk membangun pusat-pusat pertumbuhan di beberapa provinsi yang sesuai dengan rencana pengembangan daerah yang bersangkutan.
Membuat pemerataan pembangunan melalui pemindahan ibu kota tidak akan terealisasi karena secara struktural komposisi PDB terkait dengan besarnya populasi dan kegiatan ekonomi dan bisnis. Upaya agar kegiatan ekonomi dapat merata dengan merelokasi ASN tidak akan berhasil karena yang lebih dibutuhkan adalah peningkatan kegiatan ekonomi regional/local seperti pertanian, industri, dan pariwisata.
Lebih jauh Indonesia terlebih pada saat pandemi Covid-19 ini tidak memiliki kapasitas ekonomi dan keuangan yang memadai untuk membiayai pembangunan ibu kota baru. Hutang pemerintah yang terus meningkat yang sekarang diperkirakan berjumlah Rp 6,300 triliun dan diperkirakan akan semakin meningkat dan berjumlah Rp 10.000 triliun pada 2024 sudah cukup membebani perekonomian.
Apalagi penerimaan negara dari sektor pajak justru semakin menurun diukur dari tax rationya. Tax ratio terus mengalami penurunan dari 10,2% pada tahun 2018 menjadi 7,9% pada tahun 2020. Dikala sumberdaya semakin terbatas dan negara sedang diperhadapkan pada upaya penanganan kesehatan dan pemulihan ekonomi membangun ibu kota baru sungguh bukan merupakan prioritas yang tepat dan langkah yang benar. Ini hanya akan menambah beban perekonomian dan persoalan yang lebih rumit bagi pemerintah.
Pertumbuhan ekonomi juga sedang dalam tren menurun. Pada tahun 1976 sampai pertengahan 1980-an ekonomi tumbuh sebesar 8%, periode 1987-1996 sebesar 7%, periode 2005-2011 ekonomi tumbuh sebesar 6% dan periode 2012-2018 ekonomi tumbuh sebesar 5%. Demikian pula fundamental ekonomi bisa dikatakan lemah bahkan sebelum pandemi Covid-19 melanda dunia. Pertumbuhan industri manufaktur sebesar 2,3% sementara ekonomi tumbuh sebesar 4,6% pada tahun 2009, dan pada tahun 2018 komposisi 2018 ini belum berubah banyak. Masih banyak indikator ekonomi yang menunjukkan bahwa Indonesia mengalami deindustrialisasi dini. Padahal industrialisasi yang kuat merupakan prasyarat penting bagi terjadinya transformasi ekonomi. Kini pengembangan ekonomi digital dan transisi ke ekonomi hijau yang seharusnya jadi agenda utama pemerintah.
Lebih jauh belanja infrastruktur dalam lima tahun terakhir ini tergolong massif, tumbuh sebesar 172% dalam periode 2014- 2019, sementara dalam periode yang sama pengeluaran pendidikan tumbuh sebesar 38%. Dengan demikian biaya relokasi ibu kota yang diambil dari anggaran negara tersedia melalui penurunan anggaran dari sektor lain bukan dari anggaran infrastruktur yang sudah tumbuh spektakuler.
Pemerintah berargumen bahwa sebagian besar dana untuk pembangunan Ibu Kota baru berasal dari investor melalui Public Private Partnership (PPP) dan swasta.
Partisipasi swasta tentunya bisa terealisasi jika kondisi perekonomian dalam keadaan baik dengan tren yang meningkat dan kondisi iklim investasi kondusif. Namun kedua hal tersebut sekarang ini belum nampak bahkan kini ekonomi masih dalam taraf awal pemulihan, itu pun jika penanganan pandemi Covid-19 berjalan baik.
Iklim investasi pun belum membaik walaupun UU Cipta Kerja dan produk turunannya sudah dibuat (yang kini dinyatakan inskonstitusional bersyarat).
Kesimpulannya adalah UU IKN ini inkonstitusional baik cacat hukum formil maupun materiil. Cacat hukum formil, baik dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
Cacat hukum materiil karena tidak terdapat dasar hukum yang melandasinya serta adanya pertentangan UU IKN dengan konstitusi. Dalam hal apabila Pemerintah berdalih bahwa adanya hal-ihwal kegentingan yang memaksa, maka juga tidak ditemukan argumen kuat dan mendesak untuk memindahkan ibu kota negara sekarang ini.
Yang lebih mendesak dan prioritas, ditengah keterbatasan anggaran adalah memanfaatkannya untuk agenda pembangunan yang lebih strategis dan prioritas yakni pemulihan ekonomi, penanganan kesehatan, pengembangan SDM, transformasi ekonomi, pemerataan pembangunan infrastruktur yang produktif, dan pengembangan daya saing produk nasional. Jika dan ketika, kita memiliki pertumbuhan yang lebih baik, penanganan pandemi Covid-19 telah terkelola dengan baik, pembangunan infrastruktur yang lebih merata, dan kualitas sumberdaya yang lebih baik, pemindahan ibu kota dapat dipertimbangkan.
Penulis : Melisa Rizka